Pondok Krapyak yang Mengharumkan Sampah

Sampah tak lagi jadi sumber rasa jijik. Pendekatan yang tepat membuat sampah menjadi nilai tambah.

Pagi itu, Jalan Ali Maksum di Krapyak, Yogyakarta, mulai ramai. Di antara hiruk pikuk motor dan sepeda, kerumunan laki-laki berpeci keluar dari gerbang Pesantren Ali Maksum. Bahu mereka memikul karung-karung berisi rongsokan. Karung-karung itu lalu ditumpuk ke atas bak motor Tosa yang sudah terparkir. Pengemudi yang juga seorang santri, mengendarai motornya sejauh 150 meter menuju sebuah bangunan bekas rumah sakit yang kini beralih fungsi menjadi pusat pengolahan sampah.

Sampah-sampah itu diturunkan. Tanpa menunggu lama, tangan-tangan para santri langsung sigap memilahnya: sampah plastik, kertas, botol kaca, hingga sisa-sisa makanan dipisahkan dengan cermat. Pemandangan ini mungkin terlihat biasa, namun di balik kesibukan itu, ada sebuah cerita tentang keberanian, inovasi, dan kepedulian yang tumbuh dari rahim pesantren.

Kisah ini berawal pada tahun 2023. Saat itu, Andika Muhammad Nuur, seorang alumni, mencoba mengotak-atik sebuah alat incinerator—alat pembakar sampah—bekas rumah sakit yang sudah mangkrak di sekitar pesantren. Rasa ingin tahu menggerakkan tangannya. "Dulunya alat ini untuk pembakaran sampah medis. Saya belajar iseng-iseng. Ternyata punya manfaat untuk pengelolaan sampah pondok," kata Andika. Tak disangka, eksperimen iseng itu menjadi tonggak awal berdirinya Krapyak Peduli Sampah, sebuah inisiatif yang kini dipimpinnya.

Sejak 12 Juli 2023, Krapyak Peduli Sampah mulai beroperasi. Kehadirannya sangat membantu. Sebelumnya, sampah dari pesantren yang memiliki ribuan santri ini mengikuti pola pembuangan umum di Yogyakarta: diangkut oleh truk dan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul. Namun, dua pekan setelah Krapyak Peduli Sampah berdiri, Yogyakarta mengalami darurat sampah. TPA Piyungan tak lagi sanggup menampung timbunan yang membludak.

Pesantren yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Islam terbesar di Indonesia ini menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab besar. Timbunan sampah yang dihasilkan ribuan santri tentu tidak sedikit. "Selain untuk mengurangi penambahan timbunan sampah yang tidak terkelola, kami ingin menciptakan budaya baru, yaitu peduli sampah dan menjadikan lingkungan pesantren lebih bersih," ujar Andika.

Pengelolaan sampah di Krapyak kini berjalan sistematis. Sampah organik, misalnya, tidak lagi berakhir di TPA. Para santri menggilingnya untuk diubah menjadi biogas, yang digunakan sebagai pengganti alternatif gas LPG untuk kebutuhan dapur pesantren. Sedikitnya 500 kg sampah organik diolah setiap hari, mengubah sisa makanan menjadi energi bersih.

Tentu saja, perjalanan ini tidak mulus. Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan fasilitas dan kurangnya pemahaman para santri tentang cara mengurangi dan mendaur ulang sampah. Untuk mengatasi hal ini, Andika dan timnya tidak hanya berfokus pada teknologi, tetapi juga pada edukasi. Melalui kegiatan sehari-hari, para santri diajak untuk memahami konsep zero waste, yang berfokus pada prinsip mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur ulang (recycle).

Kisah Krapyak mengolah sampah adalah cerminan dari semangat Nahdliyin yang tak hanya berpegang teguh pada nilai-nilai tradisi, tetapi juga berani berinovasi dan berkontribusi nyata bagi lingkungan. Dari timbunan sampah, mereka menemukan berkah—baik dalam bentuk energi, lingkungan yang lebih bersih, maupun tumbuhnya kesadaran kolektif yang berharga. Ini bukan sekadar cerita tentang pengelolaan limbah, melainkan tentang bagaimana sebuah komunitas religius mengubah tantangan menjadi peluang, dan mengubah sampah menjadi ladang amal yang bermanfaat bagi semua.