Dari Jualan Barang Rongsok, Santri Ini Kini Meredefinisi Sarung
Bukti bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga inkubator bagi kreativitas dan inovasi.
Di balik ketenangan Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo, ada denyut kreativitas yang mengubah cara pandang tentang sebuah sarung. Bukan lagi sekadar kain pelengkap ibadah atau simbol tradisional, sarung kini naik kelas menjadi sebuah identitas baru. Ia adalah Sarung Lar Gurda, buah tangan para santri yang meredefinisi makna dan fungsinya.
Semuanya bermula dari ide Irfan Nuruddin, atau yang akrab disapa Gus Irfan, seorang pengurus pesantren yang memiliki latar belakang bisnis yang unik—dulunya pengusaha rongsokan. Pada tahun 2017, ia memutuskan untuk banting setir. "Awalnya saya merintis usaha barang rongsok. Tapi saya berpikir untuk memasukkan identitas santri yang saya punya," kenangnya.
Pilihannya jatuh pada batik. Ia melihat peluang, terinspirasi dari seorang pembatik yang selalu mengenakan sarung batik di mana-mana. Namun, ia menyadari tantangan utamanya: sarung batik kerap dianggap identik dengan perempuan atau anak-anak yang akan dikhitan. "Tapi sebetulnya sarung itu bisa digunakan oleh siapa saja," ujar Gus Irfan.
Dari sanalah lahir Sarung Lar Gurda. Nama ini memiliki makna filosofis yang kuat: Lar Gurda berarti Sayap Garuda, terinspirasi dari lambang negara. Dengan nama tersebut, Gus Irfan ingin melekatkan identitas kebangsaan pada produknya. Ia memasukkan motif dan warna khas Solo, menjadikannya sebuah karya yang kental dengan nuansa lokal.
Proses produksi sarung ini masih mempertahankan teknik tradisional, yaitu batik tulis dan cap, yang dikerjakan oleh para perajin di Grogol, Sukoharjo. Meski awalnya sulit untuk diterima oleh pasar, Gus Irfan tak menyerah. Ia terus memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa sarung batik juga pantas dipakai oleh kaum pria dewasa.
"Terus akhirnya mulai diterima oleh masyarakat umum, terutama di luar Solo itu. Syukur Alhamdulillah mulai bisa diterima oleh masyarakat, bahwa sarung batik itu kalau dipakai laki-laki juga keren. Bahkan fashionable," katanya.
Kerja keras itu berbuah manis. Saat ini, Sarung Lar Gurda sudah dikenal luas. Produksinya mencapai 5.000 lembar per bulan dan telah dipasarkan ke seluruh provinsi di Indonesia. Keberhasilan ini tak lepas dari peran para tokoh nasional yang mengenakannya, seperti Ganjar Pranowo, Gibran Rakabuming Raka, dan Yahya Cholil Staquf.
Gus Irfan juga melibatkan para santri dalam beberapa proses produksi. Meskipun tidak intens karena para santri memiliki prioritas utama dalam belajar, keterlibatan ini menjadi wadah untuk menumbuhkan keterampilan dan kewirausahaan. "Fashion ini juga mulai dipakai santri-santri, jadi identitas santri bukan hanya islami, tapi juga menjaga budaya batik yang sudah ada," pungkas Gus Irfan.
Kisah Sarung Lar Gurda membuktikan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga inkubator bagi kreativitas dan inovasi. Melalui tangan dingin seorang santri, sarung berevolusi dari sebatas busana ibadah menjadi sebuah pernyataan fashion yang modern, merekatkan identitas budaya dengan semangat kewirausahaan.